Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, April 4, 2008

Batas Langit

Cerpen : Rusiman

Senja merangkak beranjak menuju malam, sayup-sayup suara adzan magrhib dari kejauhan mengalun memanggil-mangil umat muslim untuk menunaikan kewajibannya. Waktu terus berjalan, puntung rokok yang masih tersisa ditanganku aku matikan, aku beranjak kekamar mandi mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajibanku menjalankan sholat magrib.


Usai sholat kutengadahkan tanganku sembari berdo’a, Ya Allah Kau hidupi aku dengan rizkiMu, Kau beri aku beribu-ribu nikmat yang tak dapat aku menghitungnya, puji syukur Ya Allah atas segala nikmaMu yang Kau berikan. Ya Allah ampuni aku atas segala lumuran dosa-dosaku yang melekat dihatiku, tanganku, kakiku, mulutku,telingaku dan suluruh ragaku, karena hanya Engkaulah yang Maha Pengampun, Beri aku petunjukMu kejalan yang Engkau ridhai Ya Allah, cukupi aku dengan rizkiMu dan selamatkan aku dari siksa api neraka. Amin.
Lega rasanya setelah menggugurkan kewajibanku, tak ada lagi ganjalan dihati atau dikejar-kejar waktu.

“Papah, papah”, anaku memanggil-manggilku. ”Ada apa nak?”, jawabku.
”Aku belikan tas cangklekan ya, tasku udah jelek tuh!”, di merengek minta dibelikan tas baru. ”Iya-iya nanti kalau papah udah punya uang yah?”, kataku. ”Dasar anak kecil gak tahu kondisi orang tua, tahunya minta-minta aja”, kataku dalam hati. Dia memang masih kecil usianya baru empat setengah tahun baru duduk di TK kecil, memang sih tas yang aku belikan dulu kini kondisinya sudah lusuh, maklum dia masih kecil sehingga belum bisa menjaga barang-barangnya sendiri.

”Ah, papah sukanya janji-janji aja”, kata dia. ”Iya nanti langsung papah belikan kalau udah pegang uang yah, sekarang pr-nya dikerjakan dulu sana!”, perintahku.
”Tapi ajari, aku gak bisa kalau gak di ajari”, pintanya.
”Ya, mari papah ajari, ambil bukunya”, kataku. Dia pun mau aku ajari belajar menulis abjad, maklum masih TK belum banyak pelajaran yang diberikan ustadzahnya.

Tak terasa habis mengajari anaku, waktu telah menunjukan pukul 20.30 WIB. Aku bergegas menuju pintu depan. Diluar suasana sudah sepi hanya sesekali terdengar bunyi gerobak para pedagang keliling yang menjajakan daganganya seperti mie ayam, bakso, siomay dan sebagainya sambil memukul-mukul sesuatu. Ada yang bunyinya tingting-tingting suara piring yang dipukul-pukul, toktok-toktok, dan macam-macam tergantung apa yang dijajakannya.

Aku duduk diteras menghadap ke tanaman-tanaman bunga di samping teras rumahku, tercium bau harum bunga kenanga menyengat hidungku. Sengaja disamping teras aku sisakan tanah untuk ditanami bermacam-macam tanaman untuk menyejukan halaman termasuk bunga kenanga. Selain tanaman juga aku buat kolam kecil untuk memelihara ikan kesayanganku.

Aku menengadahkan pandanganku ke langit, tanpa sengaja aku melihat seperti bintang jatuh kearah timur. Kebetulan kala itu tanggal 27 Muharam 1428 H, sehingga pada tanggal tersebut tidak terlihat rembulan. Namun langit sangat cerah tidak tertutup awan sehingga terlihat jelas bintang-bintang yang bertebaran dilangit bagaikan permata yang berkilauan. Bentuknya pun bermacam-macam ada yang seperti layang-layang, kalajengking (scorpio) dan sebagainya. Ada yang berkedip-kedip seperti tahu kalau aku sedang memandanginya.
Semakin jauh aku menjelajahi cakrawala, seolah aku sedang terbang diangkasa. Setiap lorong aku langkahi setiap bintang aku singgahi, kemudian terbang lagi dari bintang yang satu ke bintang yang lain. Pada suatu bintang yang teramat jauh dari bumi aku coba berhenti, lalu dalam hati aku bertanya dimanakah batas angkasa ini?, dimanakah langit ini batasnya? Aku coba terbang lagi lebih jauh dari bumi, jauh dan semakin jauh, jauuuuuuuuh dan jauuuuu.......uuh, kini aku sudah menghilang dari bumi tempatku berpijak, entah berada dimana aku ini sekarang, tetapi tetap tidak aku temukan batas langit itu. Akhirnya aku berhenti melayang dan hinggap pada sebuah bintang yang nyaris tak terlihat. Dalam kondisi kebingungan dalam hati ada yang berbisik padaku, ”Sampai kapanpun kamu melayang menyusuri angkasa ini tak akan kau temukan batas yang kamu cari, sesungguhnya batas langit itu ada pada matamu, dan ada pada pikiranmu”.

Aku termenung mencoba mengartikan apa yang dibisikan dalam hati, setelah aku pikirkan kata-kata itu ternyata ada benarnya. Sesungguhnya manusia itu sangat terbatas, terbatas pandangannya, terbatas pemikirannya dan terbatas semuannya. Tak akan mampu aku mencari batas langit karena pandangan mataku terbatas, tak akan mampu aku memikirkan mengapa cakrawala tak ada batasnya karena pikiranku terbatas.

”Pah, kok melamun disitu, lagi mikirin apasih?”, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara istriku.
”Udah malem lho, pintu mau ditutup”, sambung istriku, memecahkan lamunanku.
“Oo, Eu, anu , ini aku baru melihat bintang-bintang dilangit”, kataku sambil begegas masuk rumah. Aku lihat jam dinding yang menepel di dinding ternyata sudah menunjukan pukul 23.25 WIB. Setelah sholat isya akupun beranjak ke peraduan untuk beristirahat.

Semarang : 4 April 2008.